Selasa, 07 Mei 2019

Teknik Menulis Buku, dengan Membaca Teks Kehidupan Selasa, 07 Mei 2019


Teknik Menulis | Menulis pada hakikatnya adalah upaya mengekspresikan apa yang dilihat, dialami, dirasakan, dan dipikirkan ke dalam bahasa tulisan. Hampir setiap orang, pernah melakukan aktivtas menulis. Entah menulis pesan, memo, surat, buku harian, laporan, opini, naskah, ataupun menulis buku.

Ada pelbagai macam bentuk dan jenis tulisan. Setiap orang mungkin pernah menulis, dari bentuk yang paling ringan dan sederhana sampai yang luas dan mendalam. Jika kita masih kesulitan memulai membikin model tulisan yang bersifat luas dan mendalam, maka kita bisa mulai dulu latihan dengan cara membuat jenis tulisan yang ringan dan sederhana.

Misalnya saja dimulai dari membuat surat pembaca dan diary. Membuat surat pembaca dan buku harian seteliti dan sebagus mungkin, misalnya dari segi tema, isi dan cara penggarapannya. Bahkan beberapa tulisan yang berasal dari buku harian pun ada yang diterbitkan menjadi buku dan disambut dengan hangat; misalnya saja Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie, serta Pergolakan Pemikiran Islam-nya Ahmad Wahib.

Jika kita ingin menjadi penulis dan menulis buku tema tertentu, maka teknik menulis yang menjadi modal perlu dimiliki adalah kepekaan dan sikap kritis. Kepekaan dan sikap kritis berhadapan dengan “teks” kehidupan, entah teks yang tertulis maupun tidak tertulis, baik teks yang tersurat maupun yang tersirat.
Untuk itu kita perlu mengasah kepekaan dan sikap kritis terus-menerus; misalnya dengan cara bertanya, menyangsikan, mendebat, dan mengolah suatu ide dan peristiwa yang terekam dalam layar kesadaran kita. Bermulanya suatu inspirasi selalu muncul dari ide dan peristiwa. Ini merupakan modal utama dari seorang penulis.

Lantas bagaimana teknik menulis ide yang baik?

Cara yang harus dilakukan adalah dengan menggumuli  teks kehidupan yang sangat luas. Bisa berupa teks tertulis seperti bacaan atau pustaka yang beraneka ragam, buku, surat kabar, majalah, jurnal, internet. Bisa juga dari teks yang terlihat dan terdengar seperti radio, televisi, musik, film, drama, dan karya seni.

Bisa juga teks yang tidak tertulis, berupa kejadian dan peristiwa kehidupan yang kita jumpai, kita alami, kita rasakan, kita dengar, kita lihat dan saksikan. Dari teks-teks kehidupan yang sangat luas tadi, lantas kita bisa menemukan ide dan inspirasi untuk menulis.

Dari sinilah proses teknik menulis kreatif dimulai. Misalnya saja suatu ketika kita membaca surat kabar yang berisi liputan tentang pertikaian antaretnis di Kalimantan. Setelah membaca, lalu kita tertarik untuk membikin artikel dan opini mengenai “pertikaian antaretnis”, misalnya dari sudut pandang psikologis, sosiologis, antropologis, historis, ekonomis, agamis, dan politis.

Dari sudut pandang psikologis, misalnya, bisa dilontarkan pertanyaan: mengapa manusia, secara psikis, gampang bertikai dan melakukan kekerasan? Dari sudut pandang sosiologis bisa dibahas mengenai adanya kultur (tradisi, kebiasaan) “kekerasan” manusia di berbagai daerah dan wilayah.

Dari sudut pandang antropologis bisa dilontarkan beberapa asumsi: apakah pertikaian dan kekerasan adalah merupakankebudayaan khas yang dimiliki oleh suku Madura, Melayu, dan Dayak (Kalimantan)? Dari perspektif historis bisa dilakukan tinjauan sejarah dari waktu ke waktu tentang pertikaian dan kekerasan yang dilakukan oleh manusia, khususnya etnnis Madura, Melayu, dan Dayak.

Dari aspek ekonomis bisa dilontarkan asumsi: apakah pertikaian dan kekerasan antaretnis di Kalimantan ada kaitannya dengan persoalan kesenjangan dan ketimpangan ekonomi antara etnis pendatang dengan penduduk asli? Kemudian, dari aspek agamis bisa dimunculkan asumsi: apakah pertikaian dan kekerasan antaretnis di Kalimantan juga ada kaitannya dengan masalah pertikaian antar agama?

Artinya, mungkinkah pertikaian dan kekerasan yang terjadi di Kalimantan tidak sekedar merupakan problem etnis akan tetapi juga merupakan problem agama? Dan, dari aspek politis bisa dilontarkan pertanyaan dan dugaan: apakah pertikaian dan kekerasan antaretnis di Kalimantan merupakan skenario yang sengaja diciptakan oleh kelompok tertentu untuk tujuan politik dan kekuasaan?

Kemudian untuk memperluas prespektif dan wilayah pembahasan serta untuk memperkaya tulisan kita, mungkin perlu dibahas dan diperbandingkan pertikaian dan kekerasan antaragama, antarsuku, dan antargolongan yang terjadi di Maluku, Sulawesi, dan sebagainya.

Selain itu, dalam tulisan Pertikaian Antaretnis tersebut kita perlu menyisipkan ide dan pesan moral ‘perdamaian’ untuk mengatasi pertikaian dan kekerasan antaretnis juga antarsuku dan antargolongan yang akhir-akhir ini merebak di tanah air.

Melalui kerangka pembahasan di atas, maka kita bisa menulis buku sosial-politik yang cukup menarik. Itu adalah sekedar contoh teknik menulis, bagaimana sebuah artikel bisa dibikin dari proses mendengarkan berita, membaca tulisan, atau bahkan menyaksikan sendiri peristiwa pertikaian dan kekerasan antaretnis yang terjadi di Kalimantan.

Dari ilustrasi dan contoh di atas, tentu kita bisa mengembangkan sendiri untuk meracik artikel-artikel lainnya dari sudut pandang apapun (bebas) yang menurut kita menarik, entah dari sudut sosial politik, ekonomi, ataupun agama.
Syarat mutlak untuk jadi penulis adalah rajin membaca. Ketika memulai menulis  dan berjuang menjinakkan kata, tanda baca, dan kalimat, kita harus sabar, cermat, dan telaten. Jika menulis kita hayati sebagai profesi yang mengasyikkan, maka menulis bukanlah merupakan beban yang menjenuhkan. Melainkan suatu pekerjaan yang menggairahkan dan menggembirakan.

Apa yang dapat kita simpulkan dari paparan di atas ialah, menulis merupakan segenap rangkaian kegiatan seseorang mengungkapkan buah pikirannya melalui bahasa tulis untuk dibaca dan dimengerti oleh orang lain. Buah pikiran itu dapat berupa pengalaman, pendapat, pengetahuan, keinginan, perasaan sampai gejolak kalbu seseorang.

Buah pikiran itu diungkapkan dan disampaikan kepada pihak lain dengan wahana berupa bahasa tulis, yakni bahasa yang tidak mempergunakan peralatan bunyi dan pendengaran, melainkan berwujud berbagai tanda dan lambang yang harus dibaca.

Hasil perwujudan melalui bahasa tulis itu menjadi karya tulis yang dapat berupa sesuatu karangan apapun, dari karangan faktawi sampai fiksi, yang pendek beberapa lembar atau panjang berjilid-jilid sampai corak prosa atau puisi.

Setiap karya tulis, baik berupa makalah seminar, artikel, cerita pendek, lakon sandiwara maupun naskah radio merupakan ramuan tiga unsur berupa buah pikiran, penulis, dan sarana.

Bahan pokok sesuatu tulisan apapun ialah buah pikiran yang terutama dibatasi oleh sudut pandang. Ide itu selanjutnya dipadukan dengan minat dan latar belakang penulis serta sarana. Sarana yang dimaksud dalam tataran ini adalah medium penerbitan yang menjadi tempat pemuatan tulisan dengan senantiasa memperhatikan siapa sidang pembacanya.

Faktor bahasa yang harus diperhatikan oleh setiap penulis meliputi tata bahasa, irama, dan pilihan kata (diksi). Pokok soal adalah sesuatu hal yang ditulis atau terdapat dalam tulisan, jadi ide atau buah pikiran.

Pokok soal itu dalam banyak hal menentukan corak penulisan Keadaan yang harus diperhatiakan seseorang penulis mengacu pada suatu situasi khusus yang meliputi dorongan batin penulis, keadaan pembaca, dan hubungan pengarang dengan pembaca.

Seseorang dapat tergerak batinnya untuk menulis karena hasrat mengungkapkan diri seperti halnya seseorang yang mendadak menyanyi sendiri atau bersiul-siul karena kegembiraan yang timbul dalam kalbunya.

Dengan menulis sesuatu karya tulis, seseorang memperoleh ketegasan mengenai apa-apa yang berkecamuk dalam pikirannya, yang merisaukan perasaannya, atau yang memerlukan kehadiran ke luar dari dirinya.

Tetapi, seseorang juga dapat terdorong dirinya untuk menulis karena kebutuhan berhubungan dengan orang lain, seperti halnya seseorang yang mendadak ingin menulis surat kepada ibunya, atau kepada sidang pembaca surat kabar mengutarakan sesuatu hal. Dalam prakteknya, motivasi mengungkapkan diri dan berkomunikasi dengan pihak lain itu sering bercampur baur.

Dua ciri menonjol teknik menulis menandai sifat khas tulis menulis, yaitu sifat sangat manusiawi dan sifat amat pribadi. Kegiatan menulis bersifat sangat manusiawi dibandingkan dengan berbagai aktivitas lainnya karena di antara seluruh makhluk hidup hanya manusialah yang melakukan kegiatan itu.

Aneka aktivitas lainnya seperti makan, tidur, bermain-main, berolah raga, menyanyi, dan menari bukan sepenuhnya ciri manusiawi karena hewan pun melakukannya. Sampai sekarang hanya aktivitas mengungkapkan buah pikiran denganlambang tulisan merupakan monopoli manusia.

Penulisan bersifat amat pribadi karena proses penulisan yang sesungguhnya, hanya bisa dilakukan oleh satu orang saja. Hasil karangan semata-mata mencerminkan kepribadian seorang tunggal pula.

Dalam praktek mengarang tidak ada karangan yang setengah kalimat ditulis oleh seseorang. Separuhnya diteruskan oleh rekannya atau alinea-alinea selang-seling disusun sejumlah penulis secara bergantian. Seperti halnya produksi suatu barang di pabrik dengan sistem roda berjalan.

Pilihan kata, gaya pengungkapan, bentuk perbandingan, dan corak penekanan ditentukan oleh setiap penulis sendirian sehingga hasilnya pun merupakan ‘cap’ dari pribadinya.

Referensi:
Ayan, Jordan E. 2002. Bengkel Kreativitas. Diterjemahkan oleh Ibnu Setiawan. Bandung: Kaifa.
The Liang Gie. 1992. Pengantar Dunia Karang-Mengarang. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Serupa dengan "Teknik Menulis Buku, dengan Membaca Teks Kehidupan"


Tidak ada komentar :

Tulis komentar...

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Messenger Adhan Chaniago.
×
_

Hai! Kamu bisa kirim pesan di sini, jangan Lupa like ya... Terima kasih.