Teknik Menulis | Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk yang besar di dunia tidak dapat dilepaskan dari dunia pendidikan. Sebagai sebuah negara yang besar, pendidikan adalah hal penting untuk dikembangkan dalam rangka menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang mumpuni. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari adanya persaingan kualitas sumber daya manusia di ranah internasional. Sayangnya, tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut tidak dibarengi oleh usaha masyarakat untuk turut serta mewujudkan cita-cita bangsa tersebut. Kondisi tersebut bisa dilihat dari masih sedikitnya jumlah buku yang diterbitkan penerbit buku setiap tahun di negara ini yaitu sekitar 7.000 judul buku. Angka tersebut jauh berbeda dengan Amerika Serikat yang berhasil menerbitkan 75 ribu judul buku setiap tahun. Padahal jumlah penduduk Amerika Serikat tidak terlalu berbeda jauh dengan Indonesia. Terlebih lagi, sekitar 80% masyarakat Indonesia memiliki kemampuan untuk membaca.
Salah satu faktor yang mendorong rendahnya jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia yaitu rendahnya minat baca masyarakat Indonesia apabila dibandingkan dengan negara lain. Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia juga bisa didefinisikan sebagai kondisi dimana masyarakat tidak memiliki ketertarikan terhadap aktivitas membaca, baik terhadap buku, majalah, koran, dan lain sebagainya padahal jumlah penerbit buku lumayan banyak. Pada kawasan Asia Tenggara, tingkat atau minat baca penduduk Indonesia masih kalah di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Kondisi tersebut bisa jadi juga disebabkan oleh rendahnya pendapatan per kapita yang didapatkan Indonesia apabila dibandingkan dengan ketiga negara ASEAN tersebut. Apabila dibandingkan dengan negara-negara di dunia, posisi Indonesia masih berada di posisi bawah, terlebih apabila dibandingkan dengan negara-negara maju.
Kondisi tersebut sangat disayangkan ketika Indonesia sebenarnya memiliki akademisi yang jumlahnya tidak sedikit. Dengan kata lain, tenaga pendidik seperti dosen dan guru jumlahnya tidak sedikit, meskipun mereka tidak terlalu diperhatikan oleh pemerintahnya, khususnya dalam hal kesejahteraan guru yang statusnya masih bersifat honorer. Minimnya buku ajar yang ada saat ini lebih cenderung pada kurangnya buku ajar untuk tingkat Perguruan Tinggi (PT). Dengan kata lain, buku ajar untuk sekolah dasar dan menengah jumlahnya tidak terlalu bermasalah. Berangkat dari hal tersebut, maka yang perlu dipertanyakan adalah keinginan dosen untuk menulis buku. Padahal Indonesia adalah satu negara yang memiliki banyak dosen berkualitas. Tidak hanya itu, dosen juga merupakan profesi yang sebenarnya memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman berdasarkan aktivitas penelitian yang sering dilakukannya. Hanya saja, minat dosen untuk menulis buku, khususnya buku ajar masih cukup rendah di kalangan akademisi.
Berangkat dari kondisi tersebut, maka setidaknya ada 3 hal yang dituding menjadi penghambat produktivitas dosen dalam menulis buku. Hal ini perlu diperhatikan dalam teknik menulis yaitu:
Pertama adalah berkembangnya mitos bahwa menulis memerlukan bakat. Dengan kata lain, bisa tidaknya seseorang untuk menulis sesuatu didasarkan pada pertimbangan bakat. Orang yang tidak bisa teknik menulis diasumsikan sebagai orang yang tidak memiliki bakat menulis sehingga sampai kapan pun mereka dianggap tidak bisa menulis. Hal tersebut tentu harus ditentang karena tidak sesuai dengan kenyataan. Semua orang pada dasarnya bisa menulis karena sejak kecil sudah diajarkan caranya untuk menulis, baik itu puisi, cerita pendek, pantun, dan lain sebagainya. Pada saat menjalani sekolah menengah dan pendidikan tinggi, kita juga selalu dituntut untuk menulis laporan, tugas, dan presentasi. Maka sebenarnya sejak kecil kita sudah diajarkan untuk menulis. Anggapan bahwa menulis memerlukan bakat adalah hal yang keliru karena teknik menulis adalah sesuatu yang bisa dipelajari. Hanya saja permasalahannya terletak pada mental kita apakah kita mau menulis atau tidak.
Kedua adalah banyaknya akademisi, khususnya dosen yang beranggapan bahwa mereka tidak cukup memiliki waktu untuk menulis buku. Kondisi ini adalah salah satu alasan yang paling sering diutarakan bagi mereka yang tidak memiliki minat dalam menulis buku. Tidak memiliki waktu yang cukup untuk menulis pada dasarnya adalah alasan klasik yang sebenarnya bisa diatasi. Adapun cara mengatasinya yaitu dengan manajemen waktu yang sesuai dengan kesibukan. Dengan kata lain, manajemen waktu menjadi hal yang penting untuk dilakukan oleh dosen, khususnya dalam hal menulis buku. Bahkan mereka bisa meluangkan waktu 5-10 menit untuk menulis buku. Waktu yang singkat tersebut pada dasarnya bisa digunakan dosen untuk menulis, setidaknya 2-3 paragraf. Apabila hal tersebut dilakukan setiap hari, maka dalam jangka waktu tertentu, tulisan dosen tersebut akan bisa dijadikan buku. Oleh karena itu, setiap orang hanya perlu memiliki kemampuan untuk memanajemen waktunya sendiri untuk menulis buku.
Ketiga adalah kecenderungan dosen untuk memilih mengerjakan proyek daripada menulis buku. Hal tersebut berangkat dari anggapan bahwa mengerjakan proyek lebih menguntungkan daripada menulis buku. Asumsi tersebut tidak dapat dilepaskan dari keuntungan (gaji) yang didapatkan dosen ketika mengikuti proyek lebih besar daripada menulis buku. Terlebih lagi, menulis buku dianggap banyak menyita waktu dosen hingga berbulan-bulan dan belum lagi harus melewati proses editing. Hal tersebut berbeda dengan pengerjakan proyek yang sifatnya sementara dan dosen hanya dituntut membuat laporan yang bisa jadi tingkat kesulitannya tidak seberat menulis buku. Apabila dosen sudah terjebak pada pola pikir yang demikian, maka akan cukup sulit bagi dosen untuk meluangkan waktunya dalam rangka menulis buku, khususnya buku ajar di tingkat perguruan tinggi. Oleh karena itu, mental dan kemauan yang kuat tetap menjadi solusi yang ampuh untuk memunculkan semangat dosen dalam menulis buku.
Berangkat dari tiga hambatan yang ditemui orang dalam menulis buku maupun teknik menulis nya, maka solusi yang bisa diambil adalah dengan mengubah pola pikir kita bahwa menulis buku tidak membutuhkan bakat yang ada sejak lahir. Hal tersebut menjadi wajar mengingat teknik menulis buku adalah kemampuan yang bisa dipelajari dari waktu ke waktu. Selain itu, dosen juga perlu untuk menyadari bahwa kesibukan bukanlah hambatan utama dalam menulis buku. Dengan kata lain, mereka bisa menyiasati kesibukannya dengan melakukan manajemen waktu dimana mereka bisa meluangkan 5-10 menit untuk menulis buku setiap harinya. Apabila hal tersebut bisa dilakukan, maka tidak ada alasan lagi bagi dosen untuk tidak menulis buku karena kesibukannya. Terakhir, mengerjakan proyek bukanlah hal yang salah bagi dosen. Penemuan-penemuan yang menarik tersebut juga justru bisa dijadikan inspirasi baru bagi dosen untuk menulis buku. Dengan demikian, ilmu yang didapatkan tidak hanya dimiliki oleh orang yang berkepentingan, tetapi hasilnya pun juga bisa dinikmati oleh publik melalui buku.
Tidak ada komentar :
Tulis komentar...